Perlu diketahui, setelah sukses menyedot kekayaan para warga dunia sebesar 70% melalui Plandemic global via -katanya- virus Covid 19. Elite dunia masih belum kenyang juga syahwat berkuasa yang bercokol di batok kepala mereka. Saat ini, hampir seluruh anggota organisasi kesehatan dunia (WHO) sejatinya telah menandatangani kesepakatan berbentuk traktat global. Isinya? Sebuah penyerahan kedaulatan mutlak atas nasib kesehatan warga mereka. Hal demikian bukan tanpa rintangan berarti, buktinya negara besar seperti Amerika Serikat dan Rusia sontak mengumumkan mereka keluar dari ‘kesepakatan gila’ yang konon dirancang elite global.
Nah lucunya lagi, sehabis takluk menyerahkan data kesehatan warga kita pada anggota elite global alias Bill & Melinda Gates Foundation, kantor pusat mereka justru dibangun di negeri Jiran sana. Singapura. Konyol gak tuh? Otomatis, pajak dan tenaga kerja serta keamanan data bukan lagi dalam genggaman bangsa kita. Bahasa kasarnya sih, penduduk kita cuma dijadikan “kelinci” percobaan doang. Soal teknis dan manajemen kita dinilai belum sepadan sama mereka.
Sebagai kilas balik, artikel ini dibagi dalam dua chapter saja. Pertama soal flashback pandemi Covid 19 serta hubungannya secara sosial ekonomi pada kita semua.
Selamat membaca.
I. Flashback Covid 19
Ingat gak pembaca, sewaktu negara resmi mengumumkan pada Maret 2020 bahwa dipicu oleh tertularnya tiga warga Bali dari turis asal Jepang, negara kita akhirnya resmi dilanda Pandemi global. Ribet banget dah. Apa-apa dibatasi. Dagang, usaha depan rumah, hajat hidup rakyat dikudeta oleh suatu sistem bernama tiga em. Memaksa rakyat, Menakut-nakutinya, hingga mereka nyata memetik hasilnya dalam rilis dokumen LHKPN pejabat negara. Canggih gak tuh skema si mythomania kronis? Orang sudah susah makin blangsak, kaum menengah di-guillotine pakai lockdown kemasan rupa-rupa. Agar kewajiban negara di UU karantina sumir terlaksana. Ujungnya, saat rakyat sudah dalam posisi setengah kojor, akibat dibatasi tadi. Ketika mendengar ada informasi seperti LHKPN seperti kemarin, reaksinya dipastikan akan menëng bae lah jon, ora urus, palingan bengong doangan. Persis seperti ayam nelen karet gelang.
Wajar dong, mereka super duper pusing lah. Anak dirumah tetiba dapat jadwal masuk sekolah tatap muka. Ini biaya. Bini yang kemarin kerja, sekarang ngendon di rumah bantu dagang depan rumah hasil pesangon enam digit. Biaya juga bukan? Iyelah. Bapake yang baru aja kena PHK dan nyoba nge-grab motor, malah kena langkah skak ster, dihunus langsung sekaligus sepuluh hingga belasan item kebutuhan yang “harus”. Tidak bisa tidak. Ujungnya disiram lagi sama belasan grup media tayangkan info tentang LHKPN pejabat yang anehnya justru melesat naik? Ya gak usah orang pinter yang prediksi om. Sudah pasti mereka Bodo Amat. Alias gak muat lagi syaraf otaknya mencerna tsunami peristiwa yang sebenarnya pantas disebut by design. Rezim yang mengendalikan narasi di era post modernisme.
Cuap-cuaplah kau di sosmed, baku serang kalimat lah kalian disitu, kami tak anggap penting. Makanlah semua umpan divide dari dapur kami, pola singgungan agama -yang bagi umat islam suci- terus saja difabrikasi. Tanpa pernah disentuh oleh pelbagai UU. Adalah pola Orwellian yang banyak dipraktekan oleh rezim simbolisasi seperti sekarang.
Bukankah simbol lebih utama buat seorang badut? Lihatlah tatkala badut injakkan kaki di panggung gemerlap sana. Make up-nya saja sudah memberi tanda, saya penghibur maka tertawalah kalian. Hidung saya merah, rambut saya megar seperti gulali 5000-an di pinggir Kali Angke. Seragam saya warna-warni ceria agar kalian gembira. Iya itu dunia badut. Sosok penghibur batinnya penuh derita. Coba kita sambungkan dengan “Plandemic” buatan anak turunan Mao Tse Tung. Kalau Amerika kaya dari teknologinya, maka kami juga bisa kaya dengan replika KW1 yang mendunia. Jika Eropa menepuk dada sebagai bangsa berbudaya, maka negeri kami bangga dengan rasa patuh tiada tara. Pada sosok agung, Jinping. Yang dengan siasat jitu mampu membuat drama kolosal di Wuhan, tempat asal bencana virus hasil rekayasa genetika.
Di pertengahan bulan desember 2019, dilansir berita domestik China yang menyebutkan adanya ancaman serangan virus yang ditengarai lebih ganas dari virus SARS. Aplikasi media sosial milik china weibo melansir kutipan serupa yang berasal dari postingan netizen lokal china.
Salah satunya adalah mendiang Doktor Li Wenliang (12 Oktober 1986 – 6 Februari 2020), penduduk asli Bei Zhen, Liaoning, dan merupakan seorang dokter spesialis mata di Rumah Sakit Pusat Wuhan. Dialah yang pertama kali mengungkapkan epidemi ke dunia luar dalam wabah coronavirus baru pada 2019, dan saat itu disebut “epidemi Sentinel.”
Pada 3 Januari 2020, Polisi Distrik mengeluarkan peringatan sekaligus tekanan pada Dokter baik hati tersebut dan meminta pernyataan untuk mengakui telah “memposting pernyataan palsu di Internet”. Tekanan khas ala sistem otoriter di negara komunis biadab laknatullah.
Sementara seperti dilansir berbagai mainstream mass media, pada pukul 21:30 tanggal 6 Februari 2020, jantung dokter pemberani tadi berhenti berdetak karena memburuknya infeksi pneumonia coronavirus baru. Dunia segera berkabung. Freedom of speech digilas oleh sistem totaliter pemerintahan Tirai Besi.
Sebenarnya kalau ditelaah lebih jauh, ini menjadi semacam blunder false flag information buat rezim komunis china, dimana sebelumnya dengan terukur dan terarah media corong pemerintah berulang-ulang menyatakan bahwa wabah coronavirus ini berasal dari pasar hewan liar di Kota Wuhan dan hanya menyerang orang berusia antara 45 – 59 tahun. Awal penularan juga dikatakan hanya dari kelelawar ke manusia. Dan wabah virus disebutkan dapat dikendalikan.
Namun fakta yang sekarang justru tidak demikian, data terakhir menyebutkan ada bayi yang baru lahir dan hanya membutuhkan waktu 30 jam saja untuk positif terinfeksi nCoV-2019. Belum lagi adanya temuan beberapa ahli tentang laboratorium biohazard yang disinyalir jadi penyebab -dengan tingkat keamanan level 4- di Wuhan. Banyak ahli juga mengatakan “kebocoran” terjadi mulai dari sini.
Dan pertanyaan yang segera saja timbul di benak publik dunia adalah: “Apa benar virus corona merupakan wabah dari kebiasaan warga china sebagai etnis pemakan segala? Atau ini adalah sebuah perang senjata kimia dengan peluru virus mutan yang diduga “sengaja dibocorkan” dari sebuah lab biohazard?
Dalam dunia dengan teknologi informasi seperti sekarang, informasi bagai sebuah peluru yang bagi sebagian negara digunakan sebagai faktor kunci pelemah musuh. Opini dibentuk agar mudah menguasai publik.
Pada prakteknya rezim komunis china atau CCP berupaya untuk merekayasa setiap informasi yang keluar dari negerinya. Walau dinilai mustahil akibat terbukanya era informasi seperti sekarang, namun mereka tetap melakukan kontrol yang ketat. Padahal di awal fragmen tadi, betapa seluruh syaraf takut manusia dibuat rontok oleh tayangan dari Kantor Berita pemerintah Komunis Cina.
Betapa tidak? Ada seorang lelaki berjalan menuju ke rumah sakit tetiba ambruk, mati. Disusul adegan antrian pasien di bangsal rumah sakit di Wuhan yang berjejalan sampai ke parkiran. Kematian jadi kidung wajib di tiap sudut kota Wuhan medio Desember 2019 – Februari 2020. Bahkan setelahnya, secara sistematis seluruh kota berpenduduk 11 juta jiwa “dikunci” oleh otoritas setempat. Lockdown.
Dunia menahan napas, semua gemetar. Ada sejenis benda berukuran nanometer yang mampu dengan mudah membunuh seorang manusia yang dibekali dengan berbagai sistem imun tubuh sempurna. Racun mematikan itu adalah bukan varian yang alpha beta gamma ataupun delta. Racun paling ampuh itu adalah “KETAKUTAN”. Yang serempak disemburkan berbagai kanal media di seluruh dunia. Big pharma butuh pasar. Pasar butuh pembeli, pembeli akan diantarkan oleh media. Media butuh biaya untuk bayar gaji. Perusahaan farmasi butuh wahana untuk menancapkan “ketakutan” soal virus. Simbiosis mutualisme ini menemukan takdirnya. Dan awet sampai sekarang. Pelahap hidangan beracun tadi malah makin lahap, pembuat racun bagi DNA manusia jejingkrakan senang bukan kepalang. Dagangan gue laku woiiy. Serang alam bawah sadar mereka dengan glorifikasi kematian. Hujani akal sehat mereka lewat tangan pemerintah yang kebanyakan sudah terkooptasi dengan hutang. Terakhir, harus ada yang jaga sistem yang sedang berjalan, tentunya disitulah peran aparat. Sempurna.
Kedaulatan rakyat dikudeta resmi oleh sebuah dramaturgi kolosal antek dajjal. Gates, Bilderberg, Rothschild, Rockefeller merupakan segelintir elite yang saat ini merasa ruang dan waktu adalah milik mereka. Kamu mau sehat? Vaksin. Mau berpergian? Vaksin. Mau kerja? Vaksin. Mau ibadah? Vaksin. Mau ambil uang milikmu sendiri? Vaksin. Padahal Kode Nuremberg saja mereka tidak mampu menerjemahkannya. Yang dipatuhi oleh hampir seluruh dunia pasca Perang Dunia kedua. Manusia, tidak boleh menjadi kelinci percobaan. Atas nama keuntungan finansial. Suw*k Pada Lo.
Bagaimana LUCID Bisa Berjalan Dengan Sempurna? Mereka harus punya alasan logis untuk melawan barisan kalimat “Inna Sholati Wanusuki Wamahyaya Wamamati Lillahirabbil Alamin. Mereka jerat pemimpin lemah gampang digertak dengan secuil kemewahan hasil rente hutang. Mereka semburkan khasiat vaksin sebelum akhirnya terjerembab sendiri oleh perlawanan ilmuwan yang justru menyatakan bahwa pasca divaksin, tidak menjamin tidak tertular virus. Virusnya bisa bermutasi loh, artinya dibuat di lab dong? Kayak HAARP, SARS, MERS dan sebagainya.
Jadi, menurut nalar sehat saya, Ini adalah soal kepatuhan. Patuh terhadap tatanan dunia baru ala Samiri alias dajjal laknatullah. Mbok ya mikir deh, dibalik itu semua. Mall, destinasi wisata, moda transportasi publik seperti kereta api, bus umum, busway dan sebagainya sudah normal lagi tuh. Desak-desakan ala ikan pindang gitu kan? Nanti kalau ada asap putih panjang di langit kita selama beberapa hari plus aba-ana dari menkosaurus, kurva penularan akan jadi topik hangat lagi di televisi. Kita digiring menuju materialisme hedonistik akut. Satu sisi hak-hak kita dibatasi, sisi lainnya kewajiban kita malah makin diperberat. Sudah dipaksa diam dirumah, penghasilan pasti menurun, kebutuhan malah meningkat tajam -ekses anak tidak sekolah- ditambah keharusan macam-macam.
II. Welcome To Biometric ID
Puluhan warga kota Bekasi Jawa Barat disebutkan tergiur bayaran -lumayan bikin ngiler- senilai ±200 – 300 ribu rupiah, dengan cara mendaftar sebagai sukarelawan di sebuah klinik kesehatan. Teknisnya tiap warga yang lolos verifikasi awal, mereka akan diambil sampel biometric retina mata mereka lewat alat pemindai yang sudah disediakan. Terdengar lumrah dan tak menimbulkan pikiran macam-macam. Tapi, ketika dikaji lebih jauh lagi tentu hasilnya mampu bikin bulu bergidik.
Pertama, data retina mata kita merupakan salah satu ID yang paling identik terutama dengan genetik kita. Tiap pribadi ada kekhususan masing-masing, mirip sidik jari. Dan kalau pembaca ingat, di negara yang sudah IoT (internet of Thing) atau seluruh aspek kehidupan bersinggungan dengan data nirkabel tersebut, retina mata merupakan sebuah data penting yang sangat rahasia. Sebab mampu memudahkan ahli biokimia untuk menghancurkan genom tertentu misalnya. Jika eskalasi friksi antar negara sudah sedemikian memuncak.
Dengan begitu, penulis hanya merasa heran saja dengan betapa mudahnya sebuah klinik (-belakangan namanya adalah WorldID-) beroperasi di siang hari secara terbuka mengumpulkan data paling penting buat manusia, melalui pindai retina mata. Kemana itu organ negara kiranya? Apakah ikut sibuk ngumpetin ijazah seorang mantan? Hahaha. Tentu bukan itu maksudnya pembaca sekalian.
Harusnya kan ketika mereka ingin membuka usaha bidang jasa kesehatan misalnya. Otoritas kesehatan berjenjang mulai tingkat kabupaten, provinsi sampai Kementerian pusat sejatinya harus menyortir batasan mana yang boleh mana yang tidak. Kok ini tidak. Apa memang negara terlalu sibuk memikirkan hutang, MBG, isu yang lagi ramai -dugaan ijazah palsu mantan presiden- atau juga saking gemetarnya mikirin bunga hutang sebesar 800 Triliun peninggalan rezim sebelumnya.
Negara ini sebenarnya didesain oleh para Founding Father’s untuk dapat terus berlangsung selama-lamanya, bahkan bahasa lainnya dibilang sepanjang masa. Ada hukum kesinambungan yang diejawantahkan melalui UUD 1945 dan Pancasila sebagai dua pedoman bernegara. Dan lihatlah, apakah saat ini berbagai trah kekuasaan yang silih berganti mengisi tampuk singgasana kekuasaan sudah benar-benar bercita-cita membikin rakyat sejahtera? Jawaban mudah atas pertanyaan klise tersebut sayangnya belum sama sekali dipenuhi oleh para umara yang dititipkan amanah oleh Allah Azza Wajalla.
Sebagai catatan pembanding, kurun waktu 1945-1965 (Rezim Orde Lama) pemerintahnya dibuat sibuk dengan bidang Politik, keamanan, diplomasi luar negeri serta compang-camping ekonomi. Sebagai akibat langsung negara dengan predikat baru merdeka. Turbulensi ekonomi kerap terjadi, bahkan di relung waktu tertentu Indonesia berharap dari bantuan negara-negara sahabat. Kepiawaian Soekarno merangkum kata-kata dalam pidato, slogan politik yang bombasme dan rentan memicu pertengkaran pikiran, bisa dibilang lahir premature. Ya, andai saja seorang Soekarno muncul di era awal 2000-an maka bangsa ini telah lama masuk percaturan negara pemegang Hak Veto di PBB sana.
Bukankah dalam bidang geopolitik, Indonesia sempat menorehkan catatan emas dalam sejarah sebagai negara yang memiliki the third ways pada saat dunia terbelah menjadi Blok Barat dan Blok Timur. Puncaknya pada tahun 1955-1964. Secara berturut-turut Indonesia menancapkan milestone dengan melakukan antithesis dari dua kutub kekuatan dunia kapitalis dan komunis dengan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Hasilnya Indonesia didapuk menjadi Pemimpin Negara-negara Non-Blok yang anggotanya – lebih kurang 29 negara- mengeluarkan manifesto yang berisikan poin penting diantaranya adalah penentuan nasib sendiri secara politik, saling menghormati kedaulatan, non-agresi, non-intervensi dalam urusan dalam negeri, dan kesetaraan.
Perhatikan, dari lima poin yang berderet diatas, ada saling menghormati kedaulatan dan non-intervensi dalam urusan dalam negeri yang disusun oleh para tokoh dunia era 1950-an. Termasuk Joseph Tito, Pandit Jawaharlal Nehru dan Soekarno.
Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, beberapa dekade setelahnya anak cucu tokoh besar tadi justru takluk dengan mudahnya. Rela menyerahkan nasib kesehatan juga kedaulatan wilayahnya pada secarik traktat tipu-tipu milik elite global.
Lah bagaimana nggak dibilang tipu-tipu bro/sis. Faktanya dalam sebuah laporan keuangan yang dirilis Bank Pembangunan Asia (ADB) pada Kamis (24/8), menyebut hampir 70 juta orang di negara-negara berkembang di Asia, jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem tahun lalu.
“Tercatat 67,8 juta orang atau sekitar 3,9 persen dari populasi negara berkembang Asia yang berjumlah sekitar 155,2 juta, hidup dalam kemiskinan ekstrem sepanjang tahun 2022,” ungkap laporan tersebut, seperti dimuat rmol.
Sebaliknya, para taipan ekonomi dunia seperti Jeff Bezos, Elon Musk, pemilik Google Inc, justru makin moncer harta kekayaan milik mereka. Sebuah anomali yang tidak masuk logika manapun.
Apakah pandemi hanya berimbas pada kalangan jelata semata? Bukankah lockdown, pembatasan kegiatan fisik serta interaksi sosial antar human being menyapu seluruh penghuni dunia? Tapi mengapa kinerja keuangan para the have tadi sama sekali tidak terganggu bahkan sebagian justru melejit, susah untuk miskin.
Salah satu jawabannya adalah soal akses ke bidang kesehatan dan pembatasan akses ekonomi yang tidak seragam. Jika si kaya diharuskan mengikuti protokol kesehatan ketat ala negeri Tiongkok, maka hal ini dinilai oleh pengamat tidak menimbulkan efek apapun. Mengingat unsur big investasi yang mumpuni setiap saat sudah disiapkan si kaya jauh sebelumnya. Maka, tatkala akses ekonomi juga turut dibatasi, maka para taipan tadi secara alamiah akan bertempur dalam jagat maya atau online. Sesuatu yang sejatinya sudah mencaplok ± 55 % waktu normal kerja kita.
Jadi harus dibikin underline tebal nih bray, bahwa kuat dugaan pandemi kemarin merupakan sebuah episode terukur dari elite global untuk memaksimalkan kinerja keuangan mereka di dunia cashless. Sekaligus sebuah rancang bangun serta preparing yang detail untuk menyambut era “You OWN NOTHING But You are HAPPY.
Kalimat paradoks yang dipopulerkan oleh salah satu pengikut dajjal laknatullah, pentolan WEF (world economic forum) Klauss Schwabb. Jadi, tulisan ini terbit, tiada lain dan tak bermaksud menggurui pembaca semua. Pengennya sih, mari sama-sama kita jaga kesadaran, akal sehat dan terpenting akidah Islam kita. Dengan itu semua, apapun rekayasa elite global juga dajjal dan bala tentaranya, takkan bisa mengecoh kita semua. Insya Allah pertolongan Allah SWT sudah dekat. (***)
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat datang di New World Order.
LH – Penulis Tinggal di Bumi Allah SWT
Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.