Fakta itu Suci, Opini Itu Bebas : Quo Vadis Idealisme Profesi Jurnalis

  • Bagikan

Pangkalpinang atensipublik.com – Etika jurnalistik adalah seperangkat aturan moral dan profesional yang menjadi pedoman bagi wartawan dalam menjalankan tugasnya untuk menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan jujur kepada publik.

Aturan ini mencakup prinsip seperti independensi, akurasi, objektivitas, serta menghormati privasi individu dan kepentingan publik, dengan tujuan menjaga integritas profesi dan kepercayaan masyarakat terhadap media.

Selain itu, penjabaran etika jurnalistik untuk pribadi yang telah menjadikan jurnalistik sebagai profesinya, dinilai sudah menjadi ‘darah daging’ atau habit yang dilakukan sehari-hari. Bukan saja menjadi kebiasaan, tapi keniscayaan.

Di lain sisi, banyak oknum media ataupun wartawan cuan yang -idealismenya adalah rupiah- rela menginjak-injak semua aturan demi kata sakti “viral”. Yang tujuan akhirnya adalah, gemerincing bunyi pesan WhatsApp menanyakan nomor cantik si oknum tadi. Demi apa? Yang pastinya demi lembaran merah bergambar pahlawan proklamasi. Pasca berita menjadi viral, objek pemberitaan biasanya akan menyumpal sebaran informasi viral tadi dengan segepok uang. Dan titik inilah muncul peran mediator atau sosok tukang catut perkeliruan yang mengail di air keruh.

Bukan itu saja, sebagian lainnya malah berpredikat wartawan tanpa artikel yang dengan modal utama ID card serta kemampuan verbal lokal yang mampu menjadikan berita teman lain sebagai ladang rupiah. Sah-sah saja tapi hilang makna jurnalisme itu sendiri. Mirisnya lagi, menggunting dalam lipatan jadi kebiasaan yang patut dihindarkan.

Tidak dapat dipungkiri, rusaknya sebagian oknum pers di tanah air berawal dari tidak adanya jaminan bagi keluarga diri wartawan itu sendiri. Memang ada perusahaan pers, tapi seolah terkesan hanya sebagai syarat mutlak saja agar website mereka bisa diajukan sebagai rekanan dalam APBD pemerintahan daerah setempat.

Meski begitu, di jagat pramudita lainnya, harus diakui masih banyak insan pers yang memegang teguh idealisme-nya. Liputan langsung ke objek berita, mengambil dokumentasi berupa photo video, rekaman wawancara dan denyut nadi peristiwa frame berita. Mengukur seberapa penting informasi bagi publik. Kemudian setelah itu tentu memeras otak untuk menyusun kalimat menjadi paragraf yang menarik, menyesuaikan dokumentasi photo yang diambil langsung di lapangan untuk disajikan pada pembaca.

Sayangnya, belakangan ini justru hal-hal yang jadi kebanggan para tokoh pers pendahulu di tanah air seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Salim Said, dan lain-lain seolah sirna tanpa bekas. Dicampakan begitu saja demi rupiah tak seberapa. Ditaruh dalam susunan paling bawah prioritas prinsip bekerja. Dan akhirnya hanya jadi kenangan serta impian bagi jurnalis yang datang belakangan.

Jika artikel ini boleh menyadur Firman Allah SWT dalam Kitab Suci Alquran Surat Al Anam ayat 32 yang artinya : “Dan kehidupan dunia ini tiada lain hanyalah main-main dan senda gurau belaka. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa”.

Dalam pengertian kita sebagai orang awam -koreksi bila salah- tidak ada yang harus secara mati-matian diusahakan sebagai keberhasilan milik pribadi kita, di dunia ini. Sebab, bukankah segalanya sudah tertulis di Laufuh Mahfudz 50 ribu tahun sebelum diri kita diciptakan oleh Allah Azza Wajalla? So tugas kita hanya berusaha sebaik-baiknya saja, soal hasil serahkan pada Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak usah sebegitunya sampai menyembelih nama baik orang.

Jadi pertanyaannya adalah, untuk apa oknum wartawan yang hobi mengcopas berita milik teman lain sampai sebegitunya keukeh menggerocoki kenceng nasi rekan sejawat sendiri?

Terakhir, artikel ini ditulis sesungguhnya juga berfungsi -terutama- sebagai pengingat diri sendiri dan -kalau boleh- nasehat bagi rekan wartawan sekalian yang saat ini mungkin saja sedang terdesak kebutuhan, dateline membayar hutang riba yang jatuh tempo. Sementara kas di atm atau laci lemari sedang minim. Silahkan saja teruskan prinsip bermedia seperti sekarang yang dijalankan. Tentu dengan resiko masing- masing, dan akan menentukan dengan jenis tinta apa diri kita mengukir prestasi di nisan kehidupan. Apakah dengan tinta emas ataukah tinta yang lain. (***)

Oleh : Lukman Hakim
– wartawan tinggal di Pangkalpinang.

Ket photo : facebook

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *