Ada Tiga Contoh Bencana Ekologis Menimpa Pulau Sumatera, Akankah Babel Belajar Dari Sinyal Semesta?

  • Bagikan
Kolase land clearing

Pangkalpinang atensipublik.com – Bencana ekologis berupa banjir bandang menimpa tiga Provinsi besar di Pulau Sumatra. Masing-masing di Tapanuli utara, tengah dan selatan, Sibolga, Padangsidempuan dan Pakpak Barat untuk Sumatera Utara. Sementara di Aceh, banjir melanda Aceh tenggara, Aceh tengah sampai kota Lhokseumawe, Senin 1 Desember 2025.

Banyak pengamat menyatakan soal penyebab banjir, salah satunya dipicu oleh gejala hidrometeorologi atau intensitas curah hujan tinggi, serta diperparah ulah manusia dengan pembukaan 10 hektare juta lahan dalam kurun 10 tahun, dengan skema dilindungi regulasi resmi negara.

Di Sumatra Barat, air menerjang kawasan Padang Panjang, Tanah Datar, Agam, kota Padang dan Pasaman Barat.

Walaupun diakui cuaca ekstrem yang sedang melanda wilayah Indonesia, dengan munculnya Siklon Senyar dan bibit siklon tropis 95B, yang membawa massa udara serta kelembapan tinggi ke wilayah Sumatra bagian utara. Kondisi tersebut menyebabkan hujan deras yang terjadi berulang dari hari ke hari, sehingga memicu banjir dan longsor.

Info terbaru kemarin malam mencatat jumlah korban tewas mencapai 303 orang, dengan 279 orang masih hilang di seluruh Sumatra.

Bukan cuma itu saja, aktifitas land clearing korporasi sawit, penambangan emas sporadis di beberapa titik, turut dituding jadi faktor yang membikin hampir ratusan kubik balok kayu gelondongan hasil penebangan liar sontak menerjang pemukiman warga.

Seperti terlihat dalam video amatir warga di internet, sepanjang garis pantai di Padang Sumatera Barat dipenuhi oleh berjejalnya kayu bekas tebangan hutan. Pertanyaannya, siapa yang menebang? Dan mengapa pihak otoritas baik pusat maupun daerah seolah merestuinya.

Semuanya berawal dari disahkannya UU kontroversial Omnibus Law menjadi beleid resmi yang berisikan karpet merah bagi investor.

seorang warga melintas di depan rumah yang porak poranda oleh banjir di pulau sumatera

UU Omnibus Law dan Perppu memuat ketentuan “menghapus minimal 30% tutupan hutan di setiap pulau/DAS –dikutip dari akun Mas Hara on X– sehingga terjadi alih fungsi lahan sekitar 1,7 juta ha kebun sawit (legal/ilegal) di kawasan hutan, belum termasuk tambang nikel.

Kedua, PP Nomor 104/2015 yang mengatur pelepasan kawasan hutan untuk sawit-tambang, termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), menyebabkan Indonesia kehilangan sekitar 3 juta ha kawasan hutan nasional. Kondisi ini, tentu menjadi salah satu sebab adanya bencana alam.

Ketiga, PP Nomor 23/2021 yang mengatur perencanaan kehutanan hingga perubahan fungsi fungsi kawasan hutan, memperparah kerusakan alam yang terjadi di Sumatera. Dan keempat, Permen LHK (2021) memfasilitasi moratorium kawasan hutan di Riau dan Aceh untuk pemanfaatan hutan lindung/produksi.

Sementara itu, untuk Provinsi Bangka Belitung sendiri, ketiga faktor utama penyebab bencana ekologis seperti banjir bandang sangat kentara sekali dilakukan secara terstruktur, masif dan tanpa tanding. Alias sukar dihentikan.

tangkapan layar video warga banjir sumatera

Faktor land clearing korporasi sawit, yang ditingkahi dengan konflik agraria kerap terjadi. Dengan hasil akhir terbelahnya kubu masyarakat penambang di satu sisi kontra pengusaha sawit di sisi lainnya. Sebagai bahan mungkin dapat dijadikan contoh amuk massa di wilayah “kepala burung” di medio Oktober 2025 yang lalu.

Bentang alam Provinsi Babel yang sudah centang perenang, diimbuhi lagi dengan koyaknya kohesivitas antar warga dengan pengusaha. Sementara, untuk urusan bentang alam yang makin rusak, baik pemerintahan daerah maupun pihak korporasi seolah lepas tangan saja.

Kemudian, soal antisipasi bencana juga menjadi sorotan yang tak kalah penting. Mengingat, di Provinsi ini belum dilakukan sekedar studi kelayakan pembangunan bendungan di titik-titik rawan banjir. Seolah masyarakat sudah nasibnya menerima jika kediamannya terendam air.

Kedepannya diharapkan, para petarung kekuasaan harus mau memasukkan poin mitigasi bencana banjir sebagai salah satu janji kampanyenya. Sebab, mengurus rakyat itu bukan saja memenuhi tiga poin sandang, pangan dan papan. Terlebih penting lagi adalah, melindungi setiap jiwa di negeri serumpun sebalai ini dari ancaman bencana ekologis yang ditimbulkan dari faktor keserakahan manusia. (LH)

Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *