Pemprov Babel Harus Lebih Gesit Lagi Memaksimalkan Kesejahteraan Warga Tanah Depati

  • Bagikan
Perkosaan alam lingkungan secara legal

Pangkalpinang atensipublik.com – Di tahun 2019 enam tahun yang lalu, WALHI Kep Bangka Belitung merilis data sebagai berikut, dari luasan 657.510 hektar hutan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui SK No. 357/Menhut-II/04, mirisnya hanya tersisa 28% hutan yang dalam kondisi baik, sedangkan 60% dalam kondisi sangat kritis dan kritis, dan 12% dalam kondisi rusak kritis.

Menurut pernyataan -pada saat itu- Direktur Walhi Babel, Zulpriadi dalam rilisnya, Ia menyatakan bahwa hingga tahun 2014 ditemukan 121 perusahaan melakukan aktivitas produksi dalam kawasan hutan seluas 158.276,67 Hektar. Artinya pelanggaran yang dilakukan bisa disebut cukup serius. Sebab jika menyimak luasnya maka dapat dipastikan korporasi tadi tentu sudah mendapatkan keuntungan yang signifikan. Berbanding terbalik dengan hutan negara yang dirusak. Untuk tahapan reklamasi-nya saja kadang diperlukan lima sampai enam meja setingkat Dirjen untuk kemudian bisa dieksekusi. Ironi parah di negeri khatulistiwa.

“Diperparah lagi dengan lubang-lubang bekas tambang timah, menjadikan Babel salah satu provinsi tertinggi di Indonesia dengan lahan rusak dengan kondisi kritis atau sangat kritis. Yakni, kurang lebih 1.053.253,19 Ha atau 64,12 % luas daratan Babel. Kerusakan terparah terjadi di Pulau Bangka yakni 810.059,87 (76,91%),” tulisnya, Minggu malam 10 Maret 2019 yang lampau.

Bentang bumi Babel rusak(lh)

Dana Bagi Hasil SDA Provinsi Babel Kurang, Ataukah Bocor Ke Dompet Koruptor ?

Jika kemudian akibat praktek penambangan yang tak mengindahkan kelestarian lingkungan terus saja secara masif dan kontinyu dikerjakan, maka bukan tidak mungkin kerusakan hutan yang dialami oleh Negeri Serumpun Sebalai tersebut angkanya akan jauh melebihi kalkulasi viral sebesar ± 271 Triliun. Bentang bumi Babel jelas sudah rusak parah. Silahkan saja pembaca membuktikannya sendiri tatkala bepergian keluar Pangkalpinang via pesawat udara. Bukan saja kolong-kolong (danau buatan) yang kian hari semakin merata tersebar bahkan hingga ke pinggir pantai wisata.

Apakah para end user hasil bumi Bangka Belitung belum pernah sekalipun menyaksikan bentang bumi Bangka Belitung yang hancur lebur? Sesuatu yang bisa kita nilai mustahil, sebab di era connected seperti sekarang dahaga rasa ingin tahu seseorang hanya memerlukan waktu + 1 – 1,5 menit saja untuk mendapatkan jawaban. Berbagai mesin pencari seperti Google, Duckduckgo, Internet Explorer, Yahoo serta diperkuat oleh sekelompok penyedia layanan sosial media lengkap menyajikan menu searching via peramban internal di aplikasi mereka.

So, korporasi seperti Apple, Samsung, Huawei, Sony Ericsson, Microsoft, IBM, dan puluhan merk gawai pintar asal Tiongkok bukannya tidak tahu kondisi daerah Bangka Belitung luluh lantak dihajar oleh target produksi, margin keuntungan serta fluktuasi saham tambang di Pasar Modal. Tapi mereka memang menebalkan telinga, membutakan mata dan mematikan hati nuraninya, ketika daerah penghasil bahan baku utama produk teknologi mereka ternyata sangat minim dilakukan program reklamasi, revegetasi, pemulihan ekosistem, perbaikan bentang alam yang rusak diterjang oleh mesin-mesin excavator, bulldozer dan lain sebagainya.

Ancaman bencana ekologis pun makin nyata di pelupuk mata warga Babel yang langsung terdampak oleh praktek penambangan kejar tayang. Bukankah hasil kerja Harvey Cs belum pernah diukur secara presisi berapa kilometer atau berapa ratus meter kedalaman lubang tambang yang mereka buat selama melakukan praktek kongkalikong merugikan negara? Kenapa yang dihitung cuma harta benda hasil menjarahnya saja? Sebenarnya pemerintah serius atau tidak menghukum MALING dan membela rakyat?

Seharusnya kalau mau 10 betul, Dana Bagi Hasil, atau DBH yang bersumber dari pendapatan APBN berupa, 1.Pajak: Meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), dan Cukai Hasil Tembakau (CHT). 2.Sumber Daya Alam (SDA): yang meliputi hasil migas, kehutanan, pertambangan umum, dan perikanan, harus bisa dimaksimalkan lebih tinggi lagi oleh para punggawa di Pemprov Babel. Agar hak-hak warga negara untuk mendapatkan hasil perolehan SDA bisa secara tepat sampai ke sasaran. Jangan seperti sekarang yang ibaratnya selang airnya sengaja dilubangi di bagian hulunya, dibelokkan ke rekening-rekening pribadi untuk membeli HERMES, LOUIS VUITTON, GUCCI, BENTLEY, ROLLS ROYCE dan barang mewah lainnya.

Menurut catatan redaksi, rincian DBH untuk Pemprov Babel pada tahun 2025 adalah sebesar Rp. 543,62 miliar. Yabg terdiri dari DBH Pertambangan (Timah): sebesar Rp.260,49 miliar. DBH SDA Minerba (Royalti): Rp.104,20 miliar, dengan alokasi sebesar 40% telah dicairkan, dikutip dari Tribunnews.com.

“Rasa-rasanya sudah dari tahun 1800-an timah di Bangka Belitung sudah dieksploitasi. Baik oleh bangsa asing ataupun bangsa kita sendiri. Namun sangat sedikit manfaat yang bisa didapatkan oleh warga pribumi asli, bukan semata Chauvinisme sempit, tapi lebih ke arah bagi hasil SDA tambang yang maksimal mampu mensejahterakan warga,” cetus Lukman Hakim warga kelurahan Parit Lalang sewaktu diminta pendapatnya menyoal sengkarut tata kelola SDA Timah di Bangka Belitung.

Terus terang saja, saya pribadi bukan warga asli sini, lanjut Lukman, akan tetapi anak istri saya asli warga pribumi yang seharusnya bisa mendapatkan hak akan pendidikan dan kesehatan yang layak dibandingkan kondisi saat sekarang. “Bukankah dalam pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 telah jelas dinyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tapi mirisnya lagi jika kita melihat LHKPN para bedinde-bedinde kekuasaan alias para pejabat pemerintahan, justru angka yang mereka peroleh melesat naik. Jangan sampai kedepannya negara kita bernasib seperti Ethiopia, kaya akan SDA, kaya akan energi, kaya akan mineral tapi karena salah kelola akhirnya jatuh miskin dan masuk dalam kategori negara gagal,” tambah Penulis freelance yang di kurun waktu 2010 yang lalu bertindak sebagai Head of Publication and Media Smart Card BPH Migas Project.

Selain itu, dalam data IUP yang ada di tiga kabupaten. Yakni kabupaten Bangka Barat, kabupaten Bangka, dan Kabupaten Belitung Timur. Ternyata juga menyisakan beberapa persoalan terkait reklamasi pasca tambang. Berdasarkan Hasil Pengawasan Kegiatan Reklamasi PT. Tambang Timah yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Bangka Belitung Tahun 2009-2011 reklamasi tidak berjalan dengan baik di banyak tempat.

“Pada tahun 2010, luas lahan yang direncanakan direklamasi adalah seluas 1.597,82 ha. Kemudian luas lahan yang terealisasi diratakan ada sebanyak 593,22 ha atau 37,13 %. Sementara luas lahan yang terealisasi penanamannya tercatat 201,04 ha atau 12,58 %,” ungkapnya.

Belum lagi masalah penyelundupan timah atau hasil SDA rakyat Bangka Belitung kel luar negeri. Yang sampai saat ini, banyak pihak mengetahuinya namun belum melakukan langkah preventif dari situasi yang berkelindan tersebut.

“Jika dilihat dari nilai atau value, maka nilai perdagangan timah (HS 8001 – 8003) yang tidak tercatat selama periode 2004 – 2015 adalah US$ 6,081 miliar. Total indikasi kerugian negara dari 2004 -2015 sebesar Rp. 2,371 Triliun. Dari total tersebut ada sebesar Rp. 1,897 Triliun akan menjadi bagian daerah atau DBH (dana bagi hasil) timah milik Babel,” demikian Walhi merilis dalam laporan yang berjudul Mari Lebih Baik. Ini kondisi di tahun 2019, dapat ditaksir sendiri berapa ribu triliun dana yang terkumpul sekarang.

Ada satu pertanyaan sederhana yang berasal dari data milik pemerintah sendiri, yaitu jika saja premis ini akurat, bahwa sebesar ± 80% pendapatan APBN berasal dari pajak. Maka, kemana larinya hasil tambang EMAS, MIGAS, TIMAH, NIKEL, BATUBARA dan lain-lain? (LH)

 

Berita ini sudah tayang pada 10 Maret 2019 yang lalu, di media daring sinarpaginews.com dengan judul Akibat 601 IUP Bermasalah, Bangka Belitung Terancam Bencana Ekologi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *