Sekarang Apa Yang Dijajakan Oleh Para Gladiator Kekuasaan di Pilkada Depan, Pasca Raibnya Deposit Timah 271 Triliun?

  • Bagikan

Pangkalpinang atensipublik.com – Provinsi Kep Bangka Belitung merupakan sebuah provinsi muda dengan latar belakang cukup tua. Bukan saja melulu soal pasir timahnya yang sudah kesohor sejak tahun awal 1800-an. Lebih dari itu, nasib penduduk pribumi nya juga seolah didesak ke frasa kalimat “hidup di bawah garís kemiskinan”. Paradoksal terbaik bagi negeri para depati. Punya komponen penting untuk teknologi 4.0 tapi sangat patut diduga pemerintah daerahnya kurang kreatif kalau menolak disebut tidak imajinatif.

Penemuan dan Eksploitasi Timah oleh orang-orang Johor dan Siantan-lah yang pertama menggali timah di pulau Bangka, karena pengalaman mereka yang sudah didapatkan di Semenanjung Malaka. Dengan ditemukannya timah (sekitar tahun 1710) mulailah Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari seluruh Asia dan Eropa.

Artinya apa? Sejak tahun 1800an hingga kini, mekanisme pemerintahan yang dijalankan baik oleh Kesultanan Palembang, Kolonial Belanda, Kolonial Portugis dan Pemerintah pusat dapat disebutkan SAMA. Dengan pengertian, para pemegang amanah berkuasa ini belum lagi menempatkan warga atau rakyat sebagai obyek utama yang harus dipenuhi kebutuhan sandang pangan dan papan (rumah) mereka. (Lagi-lagi) nasib pemegang penuh kedaulatan negara ini hanya jadi ornamen pelengkap saja. Tidak lebih. Di jaman android yang sedang kita lalui, malah lebih tega, dan kita semua jadi berharga manakala NIK kita resmi masuk DPT Pilpres dan Pileg-Pilkada di KPU masing-masing sebagai pemilih mereka. Kurang ajarnya lagi, mereka rayu kita semua dengan beberapa lembar uang berwarna merah agar dipastikan memilih oknum penguasa tadi di bilik suara.

Sebuah politik transaksional yang sedemikian vulgar juga menghinakan pilihan akal sehat. Sebab bisa saja, seorang kontestan yang kapabel tapi minim logistik justru tersungkur perolehan suaranya jika dibandingkan dengan si oportunis yang berlabel menantu penguasa, atau bisa jadi punya koneksi taipan pemegang harta negeri ini. Bisa dijadikan contoh Pilkada Solo dan Medan misalnya. Kedua kota ini mau tidak mau menjadi trigger dari pola baku bangunan politik dinasti.

Pasca pesta demokrasi itu usai, maka seketika itu juga kembali berlaku lagi peran kawula-gusti yang lebih memfokuskan pada ‘kepatuhan’ sang kawula ketimbang pemenuhan ‘kewajiban’ janji politik si penguasa. Ironis? Gak kok, dah biasa saya.

KEMBALI LAGI PADA BAHASAN POKOK, bahwa ketika komoditas timah digali oleh pihak kesultanan, hasilnya rakyat sebagian besar masih miskin. Dicor depositnya oleh Meneer Belanda, sami mawon tetep blangsak dan sengsara. Dieksploitasi besar-besaran oleh China, Pemerintah pusat, apa hasilnya? Ya sama, tetap saja miskin. Malah timbul masalah sosial baru berupa kesenjangan sosial. Si kaya makin kaya. Si miskin terus saja betah berkubang dalam lingkaran setan Kebutuhan Fisik Minimum. Mereka si kaya ini sekarang dikenal sebagai kelompok elite oligarki. Sebuah kelompok pengusaha yang punya power politik sekaligus ekonomi. Adopsi sempurna dari kiblat ekonomi kapitalis 1960-an.

Mari kita andai-andai saja, sebagai sebuah lelucon. Misal, tiap kilogram pasir timah -sejak dulu ditambang- dikenakan pajak daerah penghasil sebesar 10% saja. Maka, provinsi ini sudah lama punya habitat hidupnya mirip Brunei Darussalam, atau minimal Singapura. Sebab jika hitungan tukang sayur saja digunakan, maka angka -misal- 200 ribu dikali 10% = 20rb per kilogram secara resmi menggelinding ke kas pemasukan daerah. Misalkan lagi angka produksi timah tahun 2024 adalah 45 000 ton. Pemerintah serta warga Bangka Belitung berhak atas penghasilan sebesar ± 900 miliar rupiah. Plus ditambah dana bagi hasil dari pusat dan biaya reklamasi serta biaya revegetasi maka Bangka Belitung tidak mungkin hancur lebur seperti sekarang ini. Sudah deposit makin dikit, dana berlapis-lapis tadi menguap entah kemana, bentang alam Bangka Belitung juga dalam bidikan serius bencana ekologi.

Sekarang selanjutnya yang harus jadi pokok pertanyaan adalah, kenapa dengan begitu banyaknya plafon pembiayaan dalam tata kelola timah sejak zaman kemerdekaan hingga zaman android ini, belum mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat pribumi disini? Jawabannya (mungkin) masih tingginya sifat feodalisme penguasa serta perkongsian haram antara pengen cepat kaya dengan kewajiban menjalankan sumpah jabatan.

DI KABUPATEN BANGKA TAHUN 2021 YANG LALU, terjadi eskalasi gesekan antara masyarakat nelayan dengan masyarakat penambang. Padahal kawasan Teluk Kelabat berdasarkan Perda No. 3 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2020, dinyatakan sebagai area yang tidak masuk dalam zona pertambangan.

Zona pesisir teluk kelabat yang memiliki pemandangan indah ini luas totalnya 32,9 ribu hektar. Teluk ini punya dua cekungan. Cekungan pertama (utara), menghadap Laut Natuna yang berada di Kabupaten Bangka. Sebutannya Teluk Kelabat Luar dengan luas 16,6 ribu hektar.

Cekungan kedua (selatan) terletak di Kabupaten Bangka Barat, yang merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Maras. Disebut sebagai Teluk Kelabat Dalam, dengan area 16,3 ribu hektar.

Setelah ramai dan berminggu-minggu jadi pembahasan di lintas media online setempat, kelompok ambtenaar Bangka Belitung akhirnya bersedia menerapkan Perda Zonasi tadi secara lebih komprehensif. Agar kedua kelompok masyarakat yang dominan berada di kawasan pantai, teluk dan laut tersebut minim bahan untuk bertikai.

Tapi sepertinya cuma setahun saja atmosfer perdamaian yang menaungi dua kelompok utama warga Bangka Belitung, masyarakat nelayan dan masyarakat penambang. Konflik sporadis yang selalu saja dipicu oleh dimana batasan rezeki nelayan dan penambang tadi seolah bagaikan Persamaan Helmholtz saja bagi para pemangku amanah lima tahunan. Sukar, terjal serta mirip jalan buntu hingga seolah menyita biaya tenaga dan waktu saja bagi mereka yang keluarganya dijamin dari pajak keringat rakyat.

BERGESER KE ARAH KOTAMADYA PANGKALPINANG, sebagai ibukota provinsi penghasil timah nomor dua terbesar sedunia. Seharusnya Pangkalpinang setara dengan lima kota besar di Indonesia. Yakni, Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar. Bukan tanpa alasan penulis mensejajarkan Pangkalpinang dengan kelima kota tadi. Salah satu faktor utama dan prinsip adalah soal letak strategis dari kota ini sendiri. Jika saja para Walikota yang pernah menjabat “mau” sedikit ngotot dengan pihak pemerintah pusat serta pemerintahan provinsi, maka hasilnya adalah slogan kota ini sebagai kota jasa dan perdagangan akan cepat disandangnya. Sebagai ibukota, sudah barang tentu kriteria terintegrasi akan hal utama yang dikejar.

BAGI WARGA PANGKALPINANG, sudah menjadi rahasia umum jika tidak memiliki kendaraan pribadi minimal roda dua, ibaratnya bagaikan patah kaki. Tidak bisa kemana-mana alias sulit menemui transportasi umum yang mudah, murah serta mampu menjangkau tiap sudut kota berdimensi 104,5 Km². Anehnya, anggaran atau master plan untuk mewujudkan moda transportasi yang mirip Busway di Jakarta misalnya minim jadi pembahasan. Kalau tidak mau dibilang alergi. Jika untuk pergi keluar rumah mengais rejeki saja orang sudah sulit maka tidak heran sistem riba atau kredit kendaraan laku keras mirip-mirip miras. Warga tahu itu haram tapi solusi paling keliatan ya nyicil motor ke dealer. Padahal jika saja pemerintahnya tidak malas menggunakan wewenangnya, banyak cara untuk mewujudkan sistem transportasi yang terintegrasi serta murah tersebut.

Kemudian syarat yang kedua adalah, sistem drainase kota juga pengelolaan limbah dan air bersih. Dua hal yang bahkan sampai memakan jabatan 3 Walikota permasalahan TPA Parit Enam tak kunjung rampung. Diperparah lagi dengan sistem drainase kota plus berhadapan dengan bentuk bentang bumi Pangkalpinang yang mirip mangkuk. Alhasil sewaktu hujan deras lebih dari tiga jam, maka dipastikan warga yang tinggal di kawasan langganan banjir akan keras degup jantungnya. Rumus air dimana-mana itu sama : mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Lah ini, bukit yang berada di kawasan konservasi sebagai penampung air saat hujan malah tidak dibentengi regulasi berlapis yang memadai. Akhirnya, sewaktu curah hujan intensitasnya tinggi, banjir musiman jadi jawabannya. Mengapa selalu berulang? Bukankah anggaran bukan sebuah momok yang memusingkan? Sekalian saja kirim mahasiswa cum laude UBB belajar soal pengendalian banjir ke Amsterdam sana. Sehingga ada hasilnya. Bukan study banding tidak jelas yang malah boros anggaran.

Kehidupan sehari-hari rakyat sudah sedemikian sulit. Akibat faktor berhutang ugal-ugalan pemerintah pusat, imbasnya adalah pembayaran bunga majemuk meningkat berakibat pada kenaikan tarif TDL, Ppn 12% dll.

bahasa sarkasme warga soal pajak (source : sosmed X)

Belum lagi beragam komoditas rakyat yang sewaktu memasuki pasar bebas kapitalisme, bukannya dilindungi juga diproteksi oleh si empunya kuasa, ini malah dijorokin ke lubang alligator ganas bernama oligarki. Mereka punya lahan karet tapi hasilnya dibeli dengan harga yang amat murah, kebun mereka menghasilkan buah sawit, tapi hilir produksinya dikuasai si tauke dan teman-temannya. Sampai-sampai ketika mereka para ambtenaar ini merasa belum bersikap kejam pada rakyat jelata, dengan sengaja mereka mendemonstrasikan keberpihakan mereka pada si kaya. Lihat saja beberapa jenis kredit kontroversi milik pemerintah seperti tax amnesty jilid II, penurunan tarif pajak Pph dari 22 ke 20 % beserta rencana penerapan tax holiday.

Berbanding terbalik dengan warga biasa yang dihajar bertubi-tubi dengan penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang akan diganti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ada juga kemungkinan naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa serta iuran BPJS Kesehatan serta yang terakhir, penerapan cukai minuman berpemanis.

Benang merahnya adalah, pola mencekik ke bawah seperti yang lazim dipertontonkan oleh rezim 2014-2024 seakan-akan manifestasi dari kalimat Soekarno dijajah bangsa sendiri. Dimana si marhaen pemilik sawah justru kelaparan tidak mampu membeli beras

Dari catatan yang dikaji ulang oleh tim redaksi, maka kita akan mendapatkan informasi lapangan terkait masih beroperasinya praktek diduga penjarahan deposit pasir timah di cekungan teluk Kelabat Dalam tersebut.

“Benar pak, ramai disana. Kalau soal boss mana saya kurang tau,” sebut mantan Kades Bakik, Rusli lewat sambungan ponselnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh redaksi, kawasan teluk kelabat dalam yang sebagian koordinatnya masuk kedalam wilayah konservasi hewan dan tumbuhan jenis dilindungi, saat itu kondisinya sangat ramai. Baik itu oleh lalu lalang perahu nelayan maupun deretan ponton timah yang “markir” dalam koordinat tertentu.

Sebagai sebuah hipotesa, penulis berpikir sah-sah saja jika dari sekarang bisa diperkirakan bahwa sewaktu nanti penguasa baru di kabupaten Bangka terpilih. Angka kemiskinan tentu enggan beranjak dari kisaran angka ± dibawah 5 %. Sementara, dengan pola yang itu-itu saja [ slogan, visi-misi non akuntabel, friksi dadakan bupati dan wakil bupati, pemda yang menggantungkan pembiayaan dari DAK pusat serta berorientasi menggenjot pajak] maka yang terjadi seolah-olah “jatuh ke lubang yang sama” berkali-kali.

Bukankah sebenarnya sudah ada contoh keberhasilan yang telah dicatat oleh sejarah. Yakni keberhasilan sewaktu rezim Orba dipercaya memegang tampuk kekuasaan. Mereka berjaya dari segi ekonomi. Pada sisi fiskal, moneter serta cadangan devisa negara, Soeharto cakap memimpin 9rang-orangnya untuk bisa keluar dari belitan inflasi 600%. Menggerakan mesin ekonomi sehingga tanpa banyak janji palsu, mampu membuka lapangan pekerjaan yang bisa mendorong tingkat daya beli masyarakat. Imbasnya adalah, roda ekonomi bangsa ini trengginas bergerak. Pencapaian rezim Orba ini, menurut hemat penulis sampai dua rezim setelahnya, bisa dinilai belum mampu dilewati prestasinya. Sebagai contoh perbandingan yang paling mudah dan gampang diingat adalah hal-hal sebagai berikut. Di zaman Soeharto berkuasa, harga satu liter dihargai cuma senilai 700 rupiah saja. Sementara harga beras di kisaran 1100 rupiah per liternya, nasi padang saat itu cuma seharga 2300 rupiah sudah dengan lauk rendang. Nilai tukar dollar juga ada di angka yang mencengangkan, yakni satu dollar senilai 1800 rupiah untuk era 1990-an atau sebelum Soeharto akhirnya lengser di 21 Mei 1998.

Namun begitu, pondasi ekonomi warisan Orba masih berfungsi dengan baik sampai saat ini. Dapat ditandai dengan berbagai peninggalan infrastruktur sekolah, bendungan irigasi raksasa, bangunan perkantoran dan lain sebagainya. Tak cuma itu, para konglomerat yang besar di era Orba juga masih berkutat kocok dadu antar mereka saja. Nama-nama Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widaja, Prajogo Pangestu, Duo bersaudara Halim, serta Mochtar Riady. Adalah sederet bukti sistem ekonomi pasar yang dikembangkan dan dirancang oleh para The Berkeley Connection, bukan saja mampu bertahan dan berkembang pesat hingga saat sekarang. Tetapi yang terpenting adalah mengapa tidak mau dijadikan percontohan bagi para penguasa setelahnya?

Padahal, kans provinsi ini bisa melejit menjadi provinsi terkaya di Indonesia sangat terbuka lebar. Dengan keuntungan geografis, jumlah penduduk yang minim, Sumber Daya Alam -pasir timah, rare earth, uranium berlimpah- sesungguhnya masalah utamanya adalah soal MENGATUR. Bukan lagi soal MENCARI.

Segalanya telah disediakan oleh Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Tinggal para penguasanya saja merapikan niatnya tatkala diberikan amanah untuk berkuasa. Apakah anda-anda sekalian tidak malu dengan seorang pemimpin muda dari benua Afrika, Kapten Ibrahim Traore? Presiden Burkina Faso yang baru berusia 40-an tahun, akan tetapi mampu menggoncangkan tatanan dunia global. Pihak “barat” suka tidak suka tunduk dan patuh pada regulasi baru yang diterapkan negara tersebut. Take it or leave it. Yups, just like that. Dengan emas dan migas sebagai senjata penekan diplomasi, Traore bisa mendikte Macron, Trump, dan raksasa lain di kancah global.

Kalau seorang Kapten saja bisa, masa iya antum yang gelarnya berderet-deret mirip antrian pasien BPJS malah melempem? Hehehe. Akhirul kata, artikel ini berfungsi hanya sebagai nasehat semata. Bukankah kewajiban sesama muslim adalah saling mengingatkan? Sekian. (***).

 

Sebuah catatan investigasi wartawan

Oleh : LH ~ editor In Chief media online atensipublik.com

 

editorial notes: artikel mengalami penambahan gambar ilustrasi pada jam 12:24 wib

 

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *